Kei Kamara berbicara kepada FIFA tentang gol spektakulernya melawan Guinea-Bissau, rahasia suksesnya di usia 41 tahun, dan ambisinya meniru Roger Milla.
- Kamara menginspirasi ambisi Sierra Leone menuju Piala Dunia FIFA
- Penyerang veteran mencetak gol sundulan spektakuler melawan Guinea-Bissau
- Pemain berusia 41 tahun itu berbicara kepada FIFA tentang karier internasionalnya
Dari semua gol yang tercipta pada jeda kualifikasi Piala Dunia FIFA 26™ bulan September, bisa dibilang yang paling indah — dan paling berani — adalah milik Kei Kamara, striker Sierra Leone berusia 41 tahun.
Menjelang turun minum pada laga 4 September melawan Guinea-Bissau, bek Sierra Leone Sallieu Tarawallie mengirim tendangan bebas dari wilayah pertahanannya sendiri ke area lawan. Saat bola turun di dekat kotak penalti, sulit membayangkan akan lahir gol dari situasi tersebut.
Namun Kamara menepis keraguan soal usia maupun logika, dengan melompat tinggi dan menanduk bola dari jarak 25 meter, melewati kiper Manuel Balde yang sudah berusaha menepis, dan bersarang ke gawang. Tak heran jika penyerang FC Cincinnati itu dijuluki “Headmaster” di Major League Soccer (MLS).
Striker veteran itu tersenyum lebar, bukan hanya karena menjadi pencetak gol tertua dalam sejarah Sierra Leone, tetapi juga karena membantu tim meraih satu poin penting dalam misi Leone Stars lolos ke Piala Dunia untuk pertama kalinya. Saat ini, Kamara dkk menempati peringkat ketiga Grup A dengan 12 poin, tertinggal tiga angka dari Burkina Faso yang akan mereka hadapi bulan depan dalam laga krusial, dengan dua pertandingan tersisa.
Meski sudah tiga kali pensiun dari tim nasional, Kamara kini bertekad menapaki jejak legenda Kamerun Roger Milla, yang tampil di Piala Dunia FIFA 1994 di usia 42 tahun. Jika tampil di Piala Dunia tahun depan, Kamara masih berusia 41 tahun — tepat sehari setelah ulang tahunnya pada 1 September.
Setelah aksinya melawan Guinea-Bissau, Kamara berbicara kepada FIFA tentang teknik mencetak gol sundulan dari luar kotak penalti, dampak potensial bagi Sierra Leone jika lolos ke Piala Dunia, serta harapannya menghadapi ajang akbar tahun depan.
FIFA: Bisa ceritakan gol spektakuler Anda melawan Guinea-Bissau?
Kei Kamara: Sundulan adalah ciri khas saya. Ada banyak perhitungan dalam sundulan itu — suhu, kondisi tim yang sedang kesulitan, dan waktu yang tepat karena terjadi di akhir babak pertama. Saya berpikir, “Akan sangat bagus kalau kami bisa cetak gol sebelum turun minum.” Saya punya koneksi dengan bek kiri, saya tahu dia akan mengirim bola tinggi ke arah saya, dan mungkin bisa saya teruskan ke penyerang lain. Tapi ternyata bola jatuh ke bek tengah Guinea-Bissau yang tingginya sekitar 6 kaki 4 inci.
Saya melihat bola mengarah kepadanya, dan kekuatan saya memang sundulan — itulah sebabnya di MLS saya dijuluki Headmaster. Saya merasa inilah momennya, apalagi saya pernah mencetak gol sundulan dari luar kotak penalti saat melawan Portland Timbers ketika membela Vancouver Whitecaps. Saat bola mengapung, saya seolah mendapat kilas balik dan berpikir, “Tanduk saja sekuat-kuatnya.” Begitu melihat bola mengarah ke gawang, saya tahu kiper tak akan bisa menjangkaunya.
FIFA: Apakah itu salah satu gol terbaik dalam karier Anda?
Kamara: Gol saya melawan Portland Timbers dulu bahkan saya tunjukkan ke rekan-rekan di Sierra Leone. Saat itu saya tidak benar-benar memperhatikan posisi kiper, tapi ketika bola mengapung, saya yakin, “Hei, kamu pernah melakukannya.” Sebagai pencetak gol, setiap kali berada di posisi berbahaya, kilas balik seperti itu muncul. Bisa saya katakan itu termasuk salah satu gol terbaik saya, apalagi ini terjadi di kualifikasi Piala Dunia, dan saya mencetaknya di usia 41 tahun untuk tim nasional. Semua itu terasa seperti momen ala Roger Milla.
FIFA: Bagaimana Anda menilai peluang Sierra Leone dengan sisa dua laga kualifikasi CAF?
Kamara: Saya seorang pemimpi, dan di akhir karier saya, saya punya mimpi gila bahwa Sierra Leone bisa jadi tim underdog yang berhasil menyelinap ke Piala Dunia. Itu akan jadi cara sempurna untuk menutup karier saya — tampil di Piala Dunia di Kanada, Meksiko, dan Amerika Serikat.
FIFA: Seberapa besar laga melawan Burkina Faso di Oktober nanti?
Kamara: Itu laga terbesar. Burkina Faso unggul beberapa poin dari kami. Target kami sederhana: finis di posisi kedua grup. Kami tahu tim lain di peringkat kedua punya poin lebih banyak, tapi jika kami bisa melampaui Burkina Faso, meski tidak lolos play-off, kami tetap bisa berkata bahwa kami finis di atas mereka. Kami akan menjamu mereka pada 6 Oktober, dan itu akan jadi laga besar bagi kedua tim.
FIFA: Apa artinya bagi negara jika Leone Stars lolos ke Piala Dunia pertama mereka?
Kamara: Saya bahkan tak bisa membayangkannya! Saat kami lolos ke Piala Afrika untuk pertama kalinya, semua orang tumpah ke jalan — suku, partai politik, semua hilang. Semua bersatu merayakan. Jadi, bayangkan kalau kami tampil di panggung terbesar Piala Dunia… bisa jadi seluruh negeri libur sebulan penuh!
FIFA: Anda sudah tiga kali pensiun dari timnas. Apa yang membuat Anda terus kembali di usia 41?
Kamara: Saya sangat mencintai negara saya. Ketika mendengar rekan-rekan berkata, “Kamu bagus di klub, tolong kembali,” saya tak bisa menolak. Kadang saya frustrasi lalu mundur lagi, tapi pintu selalu terbuka untuk saya kembali. Saya senang bisa terus membantu.
FIFA: Anda sering menyebut Roger Milla sebagai inspirasi bermain hingga usia 40-an. Mengapa?
Kamara: Itu soal mimpi. Beberapa pemain Afrika bertanya, “Apakah kamu Roger Milla berikutnya?” Hanya untuk bisa ada dalam percakapan itu saja saya sudah senang. Saya memang terlihat lebih muda dari usia 41, banyak yang tidak percaya saya setua itu. Tapi justru itu jadi motivasi agar saya terus bermain dan menginspirasi generasi berikutnya bahwa karier tidak harus berhenti di usia 30-an, bisa didorong jauh lebih lama.
FIFA: Bagaimana Anda bisa tetap bugar di usia ini? Apa rahasianya?
Kamara: Cinta pada permainan, itu kuncinya. Kisah saya unik: saya anak perang, pindah ke Amerika, lalu sepak bola jadi pelarian dan kedamaian saya. Saya tak bisa menipu sepak bola, saya harus memberi segalanya — tubuh saya, energi saya — untuk permainan ini. Bukan soal trofi atau penghargaan, melainkan tentang menemukan sesuatu yang membuat saya bahagia dan jauh dari trauma masa kecil akibat perang. Semakin lama saya bermain, saya semakin mengagumi pemain hebat yang bertahan lama. Saya ingin membandingkan diri dengan mereka — Cristiano Ronaldo, Zlatan Ibrahimović.
FIFA: Anda lama bermain di Amerika Serikat. Seberapa besar arti Piala Dunia FIFA 26 bagi negara itu?
Kamara: Luar biasa, karena Piala Dunia menyatukan dunia. AS adalah tanah peluang. Saya warga negara di sini, saya bahkan bisa saja membela timnas AS, tapi saya memilih Sierra Leone. Piala Dunia berarti persatuan. Sudah lama sejak terakhir kali digelar di Amerika, dan saya berharap berjalan lancar. Untuk sepak bola di AS, ini titik balik penting, untuk melihat apakah negara ini bisa masuk jajaran lima besar dunia. Saya pikir Piala Dunia 2026 akan mengubah cara pandang orang terhadap sepak bola di Amerika.